Jumat, 12 Agustus 2011

Bagaimana kejujuran terbentuk pada diri anak

Bagaimana kejujuran terbentuk pada diri anak
Setelah era milenium berlalu, menggemalah zaman globalisasi dengan muatan yang sarat dengan liberalisasi budaya dan pemikiran. Sementara itu budaya permisive menjadi acuan total dalam bergaya hidup (live style) masyarakat selama ini. Seakan menjadi ajang akselerasi lengkap. Maka sudah bisa dipastikan kompleksnya permasalahan di keseharian anak-anak generasi muda saat ini tidak lagi bisa dipandang remeh. Sebagaimana kasus yang terjadi baru-baru ini yang menimpa seorang ibu dan anak kesayangannya yang telah berani melakukan kejujuran namun justru keluarganya terusir dari tempat tinggal mereka di Jalan Gadel Sari Barat, Kecamatan Tandes, Surabaya. “Saya kecewa kenapa wali murid lain memusuhi kami,” ujar Al saat ditemui Tempo, Selasa, 14 Juni 2011.
Degradasi moral yang terjadi selama ini memang sangat memilukan kita semua. Pendidikan yang berproses mulai dari lingkungan keluarga sampai dengan sekolah dan masyarakat seolah tak bergigi. Dengan tidak menafikkan terhadap fakta keberhasilan meraih prestasi pada generasi sekarang, tentu persoalan lemahnya moral tidak bisa diabaikan begitu saja. Karena hal ini terjadi justru pada generasi muda anak-anak bangsa yang menjadi tulang punggung penentu estafet kepemimpinan bangsa.
Sebesar dan sekuat apapun suatu bangsa jika tidak ditopang dengan kesiapan estafet generasi mudanya, tentu akan bermuara pada kebangkrutan dan gulung tikar. Pemahaman inilah mungkin yang menginspirasi sikap Kaisar Jepang pasca dijatuhkannya bom atom ke Hirosima dan Nagasaki saat perang dunia dua. Sehingga dengan mantapnya Sang Kaisar saat itu menanyai para stafnya tentang berapa jumlah guru yang masih hidup dan seterusnya, yang itu semua telah mengantarkan bangsa Jepang maju dalam saintek dan bahkan mampu mengalahkan produk eropa dan amerika (terlepas dari pasca gempa dan tsunami yang melanda Jepang baru-baru ini). Demikianlah hasil dari sebuah bangsa yang demikian menghargai posisi pendidikan bagi kedigjayaan dan keberlanjutan eksistensi negaranya.
Jika kita lihat pada negeri kita tercinta ini, telah demikian banyak terpuruk anak-anak generasi muda kita dengan bangunan mental dan jiwa yang kritis (baca: mengkawatirkan). sampai – sampai perbuatan tak sepantasnyapun dilakukan mulai dari kalangan anak-anak SD. Kita bisa sebutkan satu demi satu persoalan yang terus bertambah, seakan tak ada hentinya, dari mulai narkoba, pelecehan seksual, perkosaan sampai dengan bunuh diri kerap menghiasi pemberitaan di media masa. Ini semua sangat mungkin diawali dari prilaku suka bohong / sikap tidak jujur sejak masih balita yang kurang mendapatkan penanganan orang tuanya. Karena kita tahu betapa sekolah yang pertama bagi anak adalah orang tuanya.
Dusta atau bohong menurut pandangan islam merupakan sifat yang sangat buruk, kecuali dusta dalam hal hal khusus (antara lain mendamaikan saudara yang bersengketa dan konflik yang membahayakan nyawa mereka dll) yang dibolehkan tentunya. Banyak ayat ayat alqur’an & hadist nabi yang menjelaskan betapa buruknya sifat dusta. Yang lebih menyedihkan dampak terbesar dari sifat dusta ini adalah munculnya keberanian melakukan dosa dosa lain. Seorang pendusta yang terlatih, dengan pikiran & hati yang tenang akan melakukan perbuatan tercela & dosa, kemudian ia akan berusaha menutupi kesalahannya dengan berkata dusta, sehingga terhindar dari sanksi manusia. Jadilah dia seorang penipu, seorang munafik. Na’udzubillah.
Tentu jika kondisinya sudah seperti ini, segenap lapisan masyarakat dari segmentasi apapun sepatutnya cepat bergerak sigap saling bahu membahu demi satu komitmen bersama yakni keberlangsungan estafet generasi yang tangguh dan demi masa depan bangsa.
Akar persoalan :
Semua permasalahan yang berkaitan dengan kualitas anak dan generasi, hakikatnya pasti bersumber dari tiga pilar penting yakni; 1.keluarga, 2.masyarakat dan 3.negara. Jika di rumah fungsi edukasi berjalan, lalu di sekolah anak mendapat pendidikan dengan benar dan masyarakat pun situasinya kondusif bagi perkembangan anak didik, insya Alloh akan lahir SDM yang mumpuni lepas dari sikap tidak jujur. Sebaliknya jika pendidikan di rumah buruk, akan membebani sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah-tengah masyarakat. Ditambah lagi jika negara tidak menopang penyelenggaraan pendidikan dengan semua infrastruktrurnya (antara lain; pendanaan, kurikulum, guru dan pegawainya, saranan prasarana pendukung, media pembelajaran pendukung, dan juga media masa pen_suport kualitas pendidikan) dalam kondisi bagus, maka lancarlah jalan mulus menuju kehancuran.
Oleh karena itu maka diskursus apapun yang mengangkat permasalahan kualitas anak, tidak boleh dengan menafikkan salah satu dari ke tiga pilar tersebut. Misalnya dengan membebankan tanggungjawab pembentukan kualitas anak dan generasi hanya pada dua pilar saja, apalagi hanya dengan menggantungkan 1 pilar saja, jelas fatal akibatnya. Hal ini sebagaimana yang sering kita lihat sekarang. Jelas, bahwa ini harus dipahami oleh keluarga, masyarakat dan negara secara terpadu.


Upaya yang bisa kita lakukan :
Berangkat dari muara persoalan pada tiga pilar di atas, maka upaya pembenahan yang bisa dilakukan antara lain ; pada pilar pertama yakni Orang tua (keluarga) harus memahami bahwa mengajarkan anak agar bersikap jujur memang dibutuhkan banyak faktor sebagai pendukung. Orangtua sebagai pribadi yang paling dekat dengan anak, harus menjadi teladan dalam mempraktekkan nilai-nilai kejujuran dalam keseharian. Guru anak di sekolah, juga harus memberikan contoh kongkret dalam pembelajaran, yang sarat dengan nilai kejujuran. Didikan lingkungan semacam ini, akan membiasakan anak dan melatih mereka untuk menerapkan hal yang sama dalam perilaku sehari-hari.
Situasi yang dihadapi oleh anak-anak kita sekarang ini memang relatif kompleks. Jika menyontek saat ujian sudah menjadi kebiasaan, tentu saja perlu usaha keras untuk mengubah ”tradisi” tersebut. Dengan demikian, kita perlu melakukannya secara bertahap. Langkah awal, kita perlu memberikan rasa aman pada anak, baik secara fisik maupun psikologis, bahwa berkata dan berbuat jujur adalah suatu hal yang ”membanggakan.”
Misalnya, ketika anak mengaku bahwa nilai ujiannya tidak baik, orangtua bisa menerima dengan lapang dada, dan menghargai kejujuran anak, serta memotivasinya agar berusaha untuk belajar lebih giat. Orangtua perlu menjelaskan pada anak secara eksplisit bahwa berkata jujur adalah perbuatan yang mulia, karena anak yang jujur belajar untuk siap menerima konsekuensi yang mungkin kurang menyenangkan.
Orangtua juga perlu meyakinkan anak bahwa kita harus belajar bersikap jujur mulai pada diri sendiri. Ketika orang tidak jujur pada dirinya sendiri, biasanya akan mengalami kesulitan untuk jujur pada orang lain. Bersikap dan berperilaku jujur akan menjadi ”modal” untuk mendapat kepercayaan dari orang lain.
Berikutnya pilar yang kedua yakni masyarakat ; jika setiap orang tua (keluarga) telah melakukan upaya-upaya di atas (pilar ke satu) maka terwujudnya masyarakat yang mampu menjalani fungsinya sebagai kontrol sosial akan sangat mudah diharapkan. Masyarakat akan terkondisikan mampu melatih kejujuran dengan memberikan lingkungan yang kondusif bagi anak untuk mengatakan pendapat dan mengekspresikan perasaannya dengan nyaman. Karena kejujuran bukan sekadar memberi kesan baik dalam berkata-kata pada orang lain, namun tidak diiringi dengan tanggungjawab untuk menerapkan apa-apa yang dikatakan. Kata-kata dan perilaku harus sejalan. Dengan demikian, tanda sukses kejujuran di tengah-tengah masyarakat adalah dengan menjaga janji kita, memberitahu kebenaran, berani menanggung akibat/konsekuensi pernyataan dan perilaku kita, serta berani mengakui kesalahan. Ini semua akan bisa diwujudkan oleh masyarakat yang telah memiliki kesadaran penuh akan fungsinya sebagai kontrol sosial yang baik.
Pilar penyangga pamungkas (terakhir) yakni ketiga adalah negara ; dua pilar yang awal yakni keluarga dan masyarakat akan dengan mudah menjalankan fungsinya secara efektif jika ditopang oleh power negara dalam mengelola, menjalankan dan mengurus terselenggaranya pendidikan secara adil dan merata di tengah-tengah masyarakat. Negara dalam hal ini harus mampu menciptakan sistim pendidikan yang ideal, karena negara berkewajiban mengatur segala aspek pendidikan agar dapat diperoleh oleh rakyat secara mudah dan murah. Yang dengan itulah akan kita peroleh jaminan proses penyelengaraan pendidikan terhindar dari orientasi provit/komersialisasi yang jelas sangat melukai hati nurani kemanusiaan. Pada akhirnya harus ada sinergi antara keluarga, masyarakat, sekolah dan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar