Kamis, 15 Juli 2010

Selalu Bersyukur dan Bersabar

friday 16 july 2010

Ada dua perkara, siapa saja memilikinya, Allah SWT mencatatnya seba-gai orang yang ber-syukur dan sabar; dan siapa saja tidak memilikinya, Allah tidak mencatatnya sebagai orang yang bersyukur dan sabar. Siapa saja yang dalam urusan agamanya memandang kepada orang yang lebih tinggi darinya, lalu dia berusaha meneladaninya, dan dalam urusan agama-nya melihat kepada orang yang lebih rendah darinya, lalu ia memuji Allah SWT atas karunia-Nya yang telah Dia berikan kepadanya, maka Allah SWT mencatatnya sebagai orang yang bersyukur dan sabar. Siapa saja yang dalam urusan agamanya memandang kepada orang yang lebih rendah darinya, dan dalam urusan dunia-nya melihat kepada orang yang lebih tinggi darinya, lalu ia bersedih atas apa yang tidak ada pada dirinya dari dunia itu, maka Allah SWT tidak mencatatnya sebagai orang yang bersyukur dan sabar.” (HR at-Tirmidzi).
Terkait dengan sabda Baginda Nabi Muhammad SAW ini, dalam kitab Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Jâmi' at-Tirmidzi, Muhammad Abdurrahman bin Abdurra-him al-Mubarakfuri menjelaskan: Pertama, memandang kepada orang yang tinggi da-lam urusan agamanya maknanya adalah memandang kepada orang yang lebih banyak ilmu agamanya, amal shalihnya, sikap qanâ'ah-nya dan riyâdhah (pengen-dalian jiwa)-nya. Kedua, melihat kepada orang yang lebih rendah dalam urusan dunianya maksudnya adalah melihat kepada orang yang lebih fakir dan lebih sedikit hartanya. Ketiga, yang dimaksud dengan memandang kepada orang yang lebih rendah dalam urusan agama adalah bahwa ia merasa cukup bahkan bangga dengan amal shalih yang telah ia lakukan. Keempat, yang dimaksud melihat kepada orang yang lebih tinggi dalam urusan dunianya adalah melihat kepada orang kaya yang selalu fokus mengejar kekayaan, diperbudak harapan dan angan-angan serta berlaku riya.
Al-Mubarakfuri lalu mengutip firman Allah SWT (yang artinya): ...supaya kalian tidak bersedih atas apa saja yang luput dari diri kalian dan tidak pula terlalu gembira dengan apa saja yang telah kalian peroleh.” (TQS al-Hadid [57]: 23)
Terkait dengan ayat di atas, Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya memberi-kan paparan berikut:
Janganlah kalian berduka cita atas rezeki yang luput dari diri kalian. Hal itu karena, jika kalian sudah tahu bahwa rezeki itu tak ada yang abadi, maka tidak layak kalian bersedih atas hilangnya rezeki itu dari tangan kalian. Ibn Mas'ud menu-turkan bahwa Nabi SAW. pernah bersabda, ”Salah seorang di antara kalian tidak akan merasakan nikmatnya iman hingga menya-dari bahwa apa saja yang menimpanya tidak mungkin keliru dan apa saja yang keliru tidak mungkin menimpanya.”
Maknanya, janganlah kalian berse-dih atas dunia yang hilang dari tangan kalian, karena itu berarti tak ditakdirkan untuk kalian. Sebab, jika memang ditak-dirkan milik kalian, tentu ia tak akan hilang dari tangan kalian.
Imam Ja'far ash-Shadiq ra. berkata, ”Wahai anak Adam, mengapa engkau berduka atas sesuatu yang tiada, semen-tara engkau tak bisa mencegahnya jika sesuatu itu hilang darimu? Mengapa pula engkau gembira atas sesuatu yang ada, sementara kematian tak akan membiarkan sesuatu itu tetap ada padamu?”
Kutipan hadits serta beberapa ko-mentar di atas pada dasarnya mengajari kita agar: Pertama, dalam urusan agama kita harus selalu melihat kepada orang yang lebih tinggi dan lebih utama dari diri kita. Dengan itu, kita akan selalu merasa diri kita kurang dalam kualitas beragama maupun dalam kuantitas amal shalih kita. Dengan itu pula, kita akan senantiasa terdorong untuk terus mengejar segala kekurangan kita dalam beragama untuk menuju 'kesempurnaan' agama kita. Kedua, dalam urusan dunia kita selalu melihat kepada orang yang lebih rendah dari kita. Dengan itu, kita akan selalu banyak bersyukur atas apa yang kita miliki, tidak mudah berlecil hati dan berduka atas sedikitnya harta.
Sayangnya, banyak di antara kita yang justru bersikap sebaliknya: meman-dang 'ke bawah' dalam urusan agama, tetapi melihat 'ke atas' dalam urusan dunia. Akibatnya, dalam hal kualitas beragama dan kuantitas amal-amalnya, ia merasa cukup dan tak pernah merasa kekurangan. Sebaliknya, dalam urusan dunia, ia tak pernah merasa puas atas apa yang dia miliki dan terus terobsesi untuk mengejarnya lebih banyak lagi. Tak jarang, dengan itu ia dilalaikan oleh kesibukan mencari harta untuk kehidupan dunia yang fana dan semu ini, serta lupa untuk terus memperbanyak amal shalih demi bekal untuk kehidupan akhirat yang abadi dan hakiki. Bagi orang yang seperti ini, alangkah baiknya merenungkan kata-kata seorang penyair yang dinukil Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi dalam kitabnya, Nashâ'ih al'-Ibâd, sebagai berikut:
Duhai yang tersibukkan dunia
panjang anganmu tlah menipumu
Duhai yang selalu terpedaya
ajalmu makin mendekat padamu
Kematian itu datang tiba-tiba
dan kuburanlah akhir dari segala
Wa mâ tawfîqî illâ billâh. [] arief b. Iskandar
Lima Pelajaran Berharga
Tuesday, 30 March 2010
Hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezaliman atas Diri-Ku, sekaligus mengharamkan kezaliman itu terjadi di antara kalian. Karena itu, janganlah kalian saling menzalimi. Hamba-Ku, setiap diri kalian itu tersesat, kecuali orang yang Aku beri hidayah. Karena itu, mintalah hidayah kepada-Ku, pasti Aku beri kalian hidayah.
Hamba-Ku, setiap diri kalian itu lapar, kecuali orang yang Aku beri makan. Karena itu, mintalah makan kepada-Ku, pasti Aku beri kalian makan. Hamba-Ku, setiap diri kalian itu telanjang, kecuali orang yang Aku beri pakaian. Karena itu, mintalah pakaian kepada-Ku, pasti Aku beri kalian pakaian. Hamba-Ku, kalian selalu berbuat kesalahan siang dan malam, sementara Aku akan mengampuni seluruh dosa. Karena itu, mintalah ampunan kepada-Ku, pasti Aku mengampuni kalian.
Hamba-Ku, kalian tidak akan pernah menyentuh madarat-Ku hingga kalian bisa memadaratkan-Ku, dan kalian pun tidak akan pernah bisa menyentuh manfaat-Ku hingga kalian bisa memberi Aku manfaat. Hamba-Ku, andai generasi pertama dan terakhir dari kalian, baik dari kalangan manusia ataupun jin, berhimpun dalam kalbu orang yang paling takwa di antara kalian, hal itu tak akan menambah sedikit pun keagungan bagi Kerajaan-Ku. Hamba-Ku, andai generasi pertama dan terakhir di antara kalian, baik dari kalangan manusia maupun jin, berhimpun dalam kalbu orang yang paling jahat di antara kalian, hal itu pun tak akan mengurangi sedikitpun keagungan Kerajaan-Ku. Hamba-Ku, andai generasi pertama dan terakhir dari kalian, baik dari kalangan manusia ataupun jin, berdiri dalam satu mimbar, lalu mereka semuanya meminta kepada-Ku, pasti akan Kuberi setiap orang dari mereka tanpa sedikitpun mengurangi milik-Ku, kecuali seperti ujung jarum saat dimasukkan ke dalam lautan. Hamba-Ku, sesungguhnya amal-amal kalian akan Aku hitung, lalu Aku sempurnakan balasannya untuk kalian. Karena itu, siapa saja yang menemukan di dalamnya kebaikan, hendaklah dia memuji Allah. Sebaliknya, siapa saja yang mendapati selain itu, hendaklah dia tidak mencela siapa pun, kecuali dirinya sendiri." Demikian firman Allah SWT dalam sebuah hadits qudsi, sebagaimana penuturan Abu Dzarr ra dari sabda Baginda Nabi Muhammad SAW. (HR Muslim).
Terkait dengan hadits di atas, Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahîh Muslim, menyebutkan antara lain beberapa hal berikut: Pertama, Allah adalah Mahasuci dan Mahatinggi; mustahil bagi-Nya berlaku zalim. Karena itu, tidak selayaknya manusia, sebagai makhluk-Nya, saling menzalimi satu sama lain. Kedua, sebelum Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW, manusia hakikatnya dalam keadaan tersesat, dan mereka akan tetap ada dalam kesesatan jika tidak mengikuti beliau. Dari sini dapat dipahami, bahwa orang yang mendapat petunjuk adalah yang memang diberi hidayah oleh Allah SWT. Allah-lah Pemilik hidayah, bukan yang lain. Karena itu, siapa saja yang Allah kehendaki, niscaya dia memperoleh hidayah-Nya. Ketiga, begitu luasnya karunia Allah SWT sehingga jika setiap manusia Dia beri karunia maka itu tak akan mengurangi karunia-Nya sedikitpun. Dengan kata lain, karunia Allah SWT itu seperti lautan yang amat luas, sementara yang diberikan kepada seluruh manusia ini hanyalah seperti ujung jarum, alias sangat sedikit. Perumpamaan ini, menurut para ulama, untuk lebih mendekatkan pemahaman kepada manusia. Keempat, kewajiban manusia untuk selalu memohon ampunan kepada Allah SWT karena setiap waktu mereka sesungguhnya selalu berbuat dosa dan kesalahan.
Selebihnya, tentu apa saja yang kita lakukan, baik atau buruk, hasil dan akibatnya adalah untuk diri kita sendiri; tidak akan pernah menambah ataupun mengurangi keagungan Kerajaan Allah SWT.
Dari beberapa poin di atas, ada beberapa 'ibrah yang bisa kita petik. Pertama: jika Allah SWT, Pemilik Kerajaan Langit dan Bumi ini saja, tidak pernah berlaku zalim terhadap siapapun, tentu betapa lancang dan kurang-ajarnya manusia yang berlaku zalim terhadap sesamanya. Kedua: harus disadari bahwa manusia manapun pada dasarnya berada dalam kesesatan selama tidak mengikuti jalan yang ditempuh Baginda Rasulullah SAW. Ketiga: Nikmat Allah SWT amatlah luas, tetapi yang Dia berikan kepada manusia di dunia ini sebetulnya tidak ada artinya. Kenikmatan yang jauh lebih besar dan abadi hanya akan didapat manusia saat mereka masuk ke dalam surga-Nya. Keempat: tak selayaknya manusia merasa suci sehingga enggan bertobat dan memohon ampunan kepada Allah SWT, karena sesungguhnya setiap saat manusia berbuat dosa dan maksiat kepada-Nya. Kelima: konsekuensi amal perbuatan kita akan kembali kepada kita sendiri, baik atau buruk, di dunia ataupun akhirat; mau tak mau kita harus siap menanggungnya. Wamâ tawfîqi illâ billâh. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar